Laman

Senin, 25 April 2011

KAPITALISME PENDIDIKAN


KAPITALISME-NEOLIBERALISME DALAM DUNIA PENDIDIIKAN

SATINO


(Pendiri LKAT Demokrasi makalah ini disampaikan sebagai pemantik dalam diskusi Lingkar Kajian Tamansiswa untuk Demokrasi 25 April 2009)
Melihat situasi nasional saat ini semua kita pasti akan sangat miris hampir setiap hari rakyat diberi tontonan tentang kebobrokan dan kedzoliman pemerintah, Sudah tidak bisa dibantah lagi, bahwa penerapan kebijakan neoliberal (kapitalisasi) telah mengubah separuh penduduk Indonesia menjadi miskin, sebagian besar industri mengalami kehancuran, pengangguran massal, dan lain-lain.
Hal itupun juga terjadi dalam pendidikan kita dewasa ini, Pendidikan sekarang ini bak menara gading yang tidak bisa dinikmati oleh anak bangsa lihat saja seperti kasus yang terjadi di Yogyakarta, UGM sebagai salah satu kampus negara (baca; negeri) yang mempunyai jargon sebagai kampus kerakyatan saat ini hanya untuk lewat UGM masyarakat harus membayar uang seribu rupiah untuk satu kali melintas dan bagi mahasiswa UGM sendiri dikenai 15.000/Bulan untuk biaya KIK belum kalau kita menengok biaya kuliahnya. Kondisi ironi ini terjadi ditengah 33 juta anak Indonesia terancam putus sekolah. Padahal seharusnya pedidikan untuk mendapatkan bekal ilmu yang menjadi hak warga Negara untuk kemudian bisa menjadi warga Negara yang dapat berperan maksimal untuk bangsa dan negara. Salah satu tujuan nasional bernegara kita adalah juga mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai pemahaman bahwa bangsa ini harus semakin berilmu dan berpengetahuan setelah sanggup mengusir penjajah. Karena itu yang pokok apa yang harus dilakukan adalah mencerdaskan rakyat sebagai buah dari perjuangan melawan neo kolonialisme.
Sejak kapan sebenarnya kapitalisasi pendidikan dimulai dalam dunia pendidikan kita. Lembaga Universitas Indonesia sejak tahun 1999 telah mengalami perubahan fundamental, seiring dengan di berlakukannya Peraturan Pemerintah RI Nomor 61/Tahun 1999 tentang Penetapan Perguruan Tinggi Negeri sebagai Badan Hukum. Dari 4 kampus percobaan (UI, UGM, ITB, dan IPB) kemudian bertambah 8 tahun 2000 yaitu UPI Bandung, Universitas Airlangga (UNAIR), Universitas Diponegoro (UNDIP), dan Universitas Sumatra Utara (USU), dan untuk tahun 2007 jumlah Perguruan tinggi negeri yang akan berubah status menjadi BHMN semakin bertambah. Kenyataan ini menunjukkan bahwa lembaga Unversitas di Indonesia mulai mengarah pada privatisasi Kampus (neoliberalisme). Semakin agressifnya ingin menjadikan kampus-kampus di Indonesia sebagai lahan akumulasi modal maka pemerintah dan DPR pun memaksakan penegsahan RUU BHP-Badan Hukum Pendidikan.
Komersialisasi (baca: kapitalisasi) pendidikan Universitas meskipun belum berjalan sepenuhnya namun dampaknya sudah sedemikian buruknya. Pada tahun 1999 (awal pemberlakuan BHMN) di perkirakan kenaikan biaya kuliah dari 300 hingga 400%. Di Universitas Indonesia uang pangkal—Admission Fee (untuk peserta seleksi SPMB) sebesar Rp5 Juta hingga Rp 25 juta, sedangkan untuk program Prestasi Minat Mandiri (PPMM) Rp25 Juta-Rp75 Juta. Untuk kampus sekelas Institut Tekhnology Bandung(ITB) di kenakan Biaya Sumbangan dana Pengembangan Akademik —bisa mencapai 45 Juta. Itu belum termasuk biaya SPP dan kebutuhan lainnya. Universitas Gajah Mada (UGM) memberlakukan Sumbangan Peningkatan Mutu Akademik (SPMA) yang besarnya bisa mencapai Rp20 Juta untuk jalur SPMB dan Non-SPMB. Argumentasi dari pendukung neoliberal bahwa biaya pendidikan sebesar itu di peruntukkan untuk kualitas pendidikan agar mengikuti standar internasional (syarat memasuki free trade). Sehingga keterlibatan swasta, atau para pemodal dalam lingkup kampus adalah untuk menolong pembiayaan kampus (konsep Otonomi Kampus) bukan lagi mengandalkan subsidi pemerintah. Mari kita lihat kebenaran argumentasi tersebut? Akibat pemberlakuan uang masuk (Biaya pendidikan) yang mahal maka bisa di pastikan bahwa banyak orang-orang yang secara IQ cerdas namun karena tidak mampu membayar sehingga tidak di terima di PTN. Pemberlakuan jalur khusus (dengan biaya puluhan juta hingga ratusan) justru lahan subur nepotisme, hanya anak-anak orang kaya yang belum tentu kualitasnya bagus masuk ke dalam PTN. Universitas seperti UGM hanya menempati urutan 77 dari 77 Universitas di kawasan Asia-Australia, apalagi universitas-universitaslain yang hanya mengandalkan “Papan nama” harus bersaing dalam kompetisi global.
Dalam persoalan fasilitas setelah BHMN juga tidak ada perubahan, di UGM mahasiswa masih memiliki problem dengan ruangan kelas yang terbatas sehingga harus berdesak-desakan. Di beberapa kampus memang di bangun fasilitas seperti jasa Internet M-Web, atau pembangun Toko buku(gramedia,dll) tetapi harganya susah di akses oleh semua mahasiswa terutama dari klas menengah kebawah. Di kampus Universitas Hasanuddin (Makassar) setelah BHMN di lakukan renovasi dan pembangunan fasilitas besar-besaran (satelit, Bis Kampus, AC untuk tiap ruangan, kamera CCTV) tetapi semua fasilitas ini harus di bayar mahal oleh mahasiswa dengan mengbengkaknya biaya pendidikan SPP dan lain-lain, belum lagi untuk mengakses fasilitas tersebut harus membayar Fee—dengan kedok biaya penelitian.
Korporasi yang merambah kampus sekarang bukan hanya dalam bentuk penempatan orang di Majelis Wali Amanat (MWA), tetapi juga pembentukan Unit Komersil yang berada di bawah naungan WMA. Di berbagai PTN/bahkan PTS di Indonesia kita bisa menjumpai minimarket (semisal Alfamart), layanan Bank dan ATM-nya (BNI, BCA, Mandiri), Jasa komersil internet-an, Mc. Donald, dan lain-lain. Fasilitas-fasilitas kampus yang di bangun dengan dana mahasiswa dan Subsidi pemerintah (Pajak Masyarakat) justru kini di komersilkan seperti Aula, Gelanggang Olahraga, asrama mahasiswa, hingga perpustakaan. Gedung alumni IPB lebih sering di pakai untuk seminar umum ketimbang di pergunakan oleh mahasiswa, Baruga AP Pettarani (Auditorium UNHAS) lebih sering dipergunakan oleh pihak luar untuk acara-acara seminar, pernikahan, dan lain-lain ketimbang di manfaatkan mahasiswa.
Ancaman terbesar mahasiswa saat ini (selain UU Sisdiknas, PP Nomor 61/Tahun 1999 yang sudah berlaku) adalah pengesahan RUU-BHP (meskipun RUU yang sudah dishakan tersebut telah dicabut, namun sejatinya TIDAK karena ada PP pengganti UU BHP), Alih-alih menjadi lembaga universitas menjadi mandiri secara finasial. Justru semangat utama UU-BHP adalah swastanisasi dan Komersialisasi pendidikan, pendidikan akan berubah menjadi bahan dagangan yang tidak lagi menitikberatkan kualitas. Dalam UU BHP antara lain disebutkan kepemilikan PTS oleh yayasan, perorangan, atau badan hukum maksimal memiliki saham 35 persen dan sisanya "dijual" kepada masyarakat yang berminat. Memang tidak adalagi kesenjangan swasta dan PTN tetapi kenyataannya adalah bahwa pendidikan semakin mahal dan susah di jangkau oleh warga masyarakat. semua kebijakan ini hanyalah pelaksanaan dari kebijakan World Trade Organization (WTO) yakni General Agreement on Trade and Service (GATS), sebuah aturan pemaksaaan bagi Negara-negara dunia ketiga untuk meliberalkan sektor pendidikan, dan sekaligus membuka kampus untuk para pemodal menanamkan modalnya.
Jelaslah bahwa biaya pendidikan yang semakin mahal semakin menghalangi keinginan lulusan SMA dari klas menengah dan bawah untuk mengandalkan otak dan prestasi akademiknya karena itu tidak di hargai dalam kampus neoliberal. Akibatnya jumlah orang yang kuliah di Universitas terus menerus turun, lihat saja untuk tahun 2003 hanya 10% dari penduduk usia mengenyam pendidikan Perguruan tinggi yang bisa mengenyam pendidikan. Kampus yang sudah telanjur besar dengan mudah membuat jejaring dengan dunia usaha sehingga kian maju. Sebaliknya, kampus yang terbelakang sulit dilirik oleh dunia usaha sehingga tetap tertinggal di tengah ketatnya persaingan pasar. Van Hoof dan Van Wieringen (1986) mengatakan dalam suatu konferensi pendidikan tinggi Eropa, "Jika pemerintah suatu negara tidak secara serius memerhatikan arah dan pengelolaan pendidikan tinggi di negaranya, dapat dipastikan pembangunan ekonomi negara tersebut akan terhambat."
Perubahan struktur ekonomi-politik kampus kea rah neoliberalisme, telah merubah paradigma pendidikan kapitalisme bukan hanya sekedar sebagai penyedia robot-root untuk industri, menyediakan riset, media transmisi ideologi negara tetapi di jaman sekarang (baca; neoliberalisme) kampus telah menjelma sekaligu tidak ubahnya pasar. Dimana hanya orang-orang yang memiliki kesanggupan daya beli-lah yang bisa mengaksesnya, sedangkan orang-orang miskin cukup melihat-lihat dari luar.
Selain persoalan biaya pendidikan yang semakin mahal (komersialisasi) akibat utama reformasi neoliberalisme di perguruan tinggi adalah kurikulum yang sangat mengabdi kepada pasar tenaga kerja (labour market). Dalam kasus BHMN kampus telah berubah status menjadi reserarh University (dulu di cetuskan di Jerman untuk mendukung pemerintahan NAZI melakukan penemuan baru dalam persenjataan). Yang salah dari konsep ini penemuan teknologi dan IPTEK bukan di peruntukkan untuk kepentingan seluruh umat manusia, tetapi nantinya akan di kuasai oleh korporasi asing dalam bentuk hak cipta dan hak paten. Selain itu pendidikan di universitas akan menjalin kerjasama dengan korporasi-korporasi dengan pola Link and Match atau pola magang di korporasi untuk ketersediaan tenaga professional. Jelas status BHMN tidak menghasilkan kualitas seperti yang dimitoskan, malah status ini menjerat pendidikan sekedar mesin penjaga kestabilan akumulasi modal dalam alam kapitalisme. Hubungan tidak linear antara PT dan sektor ekonomi disebabkan oleh pergeseran paradigma penyelenggaraan PT sebagai akibat langsung industrialisasi modern pasca-Perang Dunia II. Para pakar ekonomi sosial,
seperti Castells (2000), Callinicos (1999), dan Rifkin (2000), mencatat, semangat membangun kembali setelah perang melalui industrialisasi modern menumbuhkan tuntutan pragmatis masyarakat atas peran PT.  Pola pengelolaan modal industri membentuk persepsi masyarakat bahwa investasi ekonomi dalam bidang pendidikan juga harus kembali dalam bentuk profit ekonomi. Akibatnya, tolok ukur masyarakat atas keberhasilan pendidikan adalah kerja yang mengembalikan investasi. 
Imbas lain dari BHMN-isasi ini adalah persoalan tatahubungan kelembagaan dalam Universitas yang tidak demokratis, penyebabnya posisi lembaga mahasiswa tidak sederajat dengan birokrasi kampus. Status Badan Hukum telah merubah wajah kampus menjadi anti-unionisme (serikat mahasiswa), di berbagai kampus yang menjalankan Badan hukum ini sangat anti dengan aktivitas gerakan mahasiswa. Di UI tahun 1990/2000 dilakukan DO/skorsing terhadap mahasiswa kritis, di Universitas hasanuddin hal yang sama juga dilakukan terhadap mahasiswa, di USU, dan berbagai kampus di Indonesia. Penyempitan ruang demokrasi bagi mahasiswa untuk melakukan aktivitas kemahasiswaan(kecuali untuk minat dan bakat/UKM) hampir terjadi dimana-mana. Di IKIP Mataram protes mahasiswa karena keluarnya kebijakan yang tidak melibatkan mahasiswa memakan korban mahasiswa (Ridwansyah, tewas terbunuh oleh preman yang dibayar rektorat). Di berbagai kampus di keluarkan kebijakan pelarangan melakukan aktivitas mimbar bebas, melakukan diskusi, pelarangan mengedarkan selebaran, bahkan pelarangan berorganisasi (terutama organisasi radikal).

LAWAN KAPITALISASI PENDIDIKAN
MARI TERUS, BELAJAR, BERSATU DAN BERJUANG UNTUK INDONESIA MANDIRI BERDAULAT DAN BERKEPRIBADIAN.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar