Laman

Senin, 25 April 2011

KAPITALISME PENDIDIKAN


KAPITALISME-NEOLIBERALISME DALAM DUNIA PENDIDIIKAN

SATINO


(Pendiri LKAT Demokrasi makalah ini disampaikan sebagai pemantik dalam diskusi Lingkar Kajian Tamansiswa untuk Demokrasi 25 April 2009)
Melihat situasi nasional saat ini semua kita pasti akan sangat miris hampir setiap hari rakyat diberi tontonan tentang kebobrokan dan kedzoliman pemerintah, Sudah tidak bisa dibantah lagi, bahwa penerapan kebijakan neoliberal (kapitalisasi) telah mengubah separuh penduduk Indonesia menjadi miskin, sebagian besar industri mengalami kehancuran, pengangguran massal, dan lain-lain.
Hal itupun juga terjadi dalam pendidikan kita dewasa ini, Pendidikan sekarang ini bak menara gading yang tidak bisa dinikmati oleh anak bangsa lihat saja seperti kasus yang terjadi di Yogyakarta, UGM sebagai salah satu kampus negara (baca; negeri) yang mempunyai jargon sebagai kampus kerakyatan saat ini hanya untuk lewat UGM masyarakat harus membayar uang seribu rupiah untuk satu kali melintas dan bagi mahasiswa UGM sendiri dikenai 15.000/Bulan untuk biaya KIK belum kalau kita menengok biaya kuliahnya. Kondisi ironi ini terjadi ditengah 33 juta anak Indonesia terancam putus sekolah. Padahal seharusnya pedidikan untuk mendapatkan bekal ilmu yang menjadi hak warga Negara untuk kemudian bisa menjadi warga Negara yang dapat berperan maksimal untuk bangsa dan negara. Salah satu tujuan nasional bernegara kita adalah juga mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai pemahaman bahwa bangsa ini harus semakin berilmu dan berpengetahuan setelah sanggup mengusir penjajah. Karena itu yang pokok apa yang harus dilakukan adalah mencerdaskan rakyat sebagai buah dari perjuangan melawan neo kolonialisme.
Sejak kapan sebenarnya kapitalisasi pendidikan dimulai dalam dunia pendidikan kita. Lembaga Universitas Indonesia sejak tahun 1999 telah mengalami perubahan fundamental, seiring dengan di berlakukannya Peraturan Pemerintah RI Nomor 61/Tahun 1999 tentang Penetapan Perguruan Tinggi Negeri sebagai Badan Hukum. Dari 4 kampus percobaan (UI, UGM, ITB, dan IPB) kemudian bertambah 8 tahun 2000 yaitu UPI Bandung, Universitas Airlangga (UNAIR), Universitas Diponegoro (UNDIP), dan Universitas Sumatra Utara (USU), dan untuk tahun 2007 jumlah Perguruan tinggi negeri yang akan berubah status menjadi BHMN semakin bertambah. Kenyataan ini menunjukkan bahwa lembaga Unversitas di Indonesia mulai mengarah pada privatisasi Kampus (neoliberalisme). Semakin agressifnya ingin menjadikan kampus-kampus di Indonesia sebagai lahan akumulasi modal maka pemerintah dan DPR pun memaksakan penegsahan RUU BHP-Badan Hukum Pendidikan.
Komersialisasi (baca: kapitalisasi) pendidikan Universitas meskipun belum berjalan sepenuhnya namun dampaknya sudah sedemikian buruknya. Pada tahun 1999 (awal pemberlakuan BHMN) di perkirakan kenaikan biaya kuliah dari 300 hingga 400%. Di Universitas Indonesia uang pangkal—Admission Fee (untuk peserta seleksi SPMB) sebesar Rp5 Juta hingga Rp 25 juta, sedangkan untuk program Prestasi Minat Mandiri (PPMM) Rp25 Juta-Rp75 Juta. Untuk kampus sekelas Institut Tekhnology Bandung(ITB) di kenakan Biaya Sumbangan dana Pengembangan Akademik —bisa mencapai 45 Juta. Itu belum termasuk biaya SPP dan kebutuhan lainnya. Universitas Gajah Mada (UGM) memberlakukan Sumbangan Peningkatan Mutu Akademik (SPMA) yang besarnya bisa mencapai Rp20 Juta untuk jalur SPMB dan Non-SPMB. Argumentasi dari pendukung neoliberal bahwa biaya pendidikan sebesar itu di peruntukkan untuk kualitas pendidikan agar mengikuti standar internasional (syarat memasuki free trade). Sehingga keterlibatan swasta, atau para pemodal dalam lingkup kampus adalah untuk menolong pembiayaan kampus (konsep Otonomi Kampus) bukan lagi mengandalkan subsidi pemerintah. Mari kita lihat kebenaran argumentasi tersebut? Akibat pemberlakuan uang masuk (Biaya pendidikan) yang mahal maka bisa di pastikan bahwa banyak orang-orang yang secara IQ cerdas namun karena tidak mampu membayar sehingga tidak di terima di PTN. Pemberlakuan jalur khusus (dengan biaya puluhan juta hingga ratusan) justru lahan subur nepotisme, hanya anak-anak orang kaya yang belum tentu kualitasnya bagus masuk ke dalam PTN. Universitas seperti UGM hanya menempati urutan 77 dari 77 Universitas di kawasan Asia-Australia, apalagi universitas-universitaslain yang hanya mengandalkan “Papan nama” harus bersaing dalam kompetisi global.
Dalam persoalan fasilitas setelah BHMN juga tidak ada perubahan, di UGM mahasiswa masih memiliki problem dengan ruangan kelas yang terbatas sehingga harus berdesak-desakan. Di beberapa kampus memang di bangun fasilitas seperti jasa Internet M-Web, atau pembangun Toko buku(gramedia,dll) tetapi harganya susah di akses oleh semua mahasiswa terutama dari klas menengah kebawah. Di kampus Universitas Hasanuddin (Makassar) setelah BHMN di lakukan renovasi dan pembangunan fasilitas besar-besaran (satelit, Bis Kampus, AC untuk tiap ruangan, kamera CCTV) tetapi semua fasilitas ini harus di bayar mahal oleh mahasiswa dengan mengbengkaknya biaya pendidikan SPP dan lain-lain, belum lagi untuk mengakses fasilitas tersebut harus membayar Fee—dengan kedok biaya penelitian.
Korporasi yang merambah kampus sekarang bukan hanya dalam bentuk penempatan orang di Majelis Wali Amanat (MWA), tetapi juga pembentukan Unit Komersil yang berada di bawah naungan WMA. Di berbagai PTN/bahkan PTS di Indonesia kita bisa menjumpai minimarket (semisal Alfamart), layanan Bank dan ATM-nya (BNI, BCA, Mandiri), Jasa komersil internet-an, Mc. Donald, dan lain-lain. Fasilitas-fasilitas kampus yang di bangun dengan dana mahasiswa dan Subsidi pemerintah (Pajak Masyarakat) justru kini di komersilkan seperti Aula, Gelanggang Olahraga, asrama mahasiswa, hingga perpustakaan. Gedung alumni IPB lebih sering di pakai untuk seminar umum ketimbang di pergunakan oleh mahasiswa, Baruga AP Pettarani (Auditorium UNHAS) lebih sering dipergunakan oleh pihak luar untuk acara-acara seminar, pernikahan, dan lain-lain ketimbang di manfaatkan mahasiswa.
Ancaman terbesar mahasiswa saat ini (selain UU Sisdiknas, PP Nomor 61/Tahun 1999 yang sudah berlaku) adalah pengesahan RUU-BHP (meskipun RUU yang sudah dishakan tersebut telah dicabut, namun sejatinya TIDAK karena ada PP pengganti UU BHP), Alih-alih menjadi lembaga universitas menjadi mandiri secara finasial. Justru semangat utama UU-BHP adalah swastanisasi dan Komersialisasi pendidikan, pendidikan akan berubah menjadi bahan dagangan yang tidak lagi menitikberatkan kualitas. Dalam UU BHP antara lain disebutkan kepemilikan PTS oleh yayasan, perorangan, atau badan hukum maksimal memiliki saham 35 persen dan sisanya "dijual" kepada masyarakat yang berminat. Memang tidak adalagi kesenjangan swasta dan PTN tetapi kenyataannya adalah bahwa pendidikan semakin mahal dan susah di jangkau oleh warga masyarakat. semua kebijakan ini hanyalah pelaksanaan dari kebijakan World Trade Organization (WTO) yakni General Agreement on Trade and Service (GATS), sebuah aturan pemaksaaan bagi Negara-negara dunia ketiga untuk meliberalkan sektor pendidikan, dan sekaligus membuka kampus untuk para pemodal menanamkan modalnya.
Jelaslah bahwa biaya pendidikan yang semakin mahal semakin menghalangi keinginan lulusan SMA dari klas menengah dan bawah untuk mengandalkan otak dan prestasi akademiknya karena itu tidak di hargai dalam kampus neoliberal. Akibatnya jumlah orang yang kuliah di Universitas terus menerus turun, lihat saja untuk tahun 2003 hanya 10% dari penduduk usia mengenyam pendidikan Perguruan tinggi yang bisa mengenyam pendidikan. Kampus yang sudah telanjur besar dengan mudah membuat jejaring dengan dunia usaha sehingga kian maju. Sebaliknya, kampus yang terbelakang sulit dilirik oleh dunia usaha sehingga tetap tertinggal di tengah ketatnya persaingan pasar. Van Hoof dan Van Wieringen (1986) mengatakan dalam suatu konferensi pendidikan tinggi Eropa, "Jika pemerintah suatu negara tidak secara serius memerhatikan arah dan pengelolaan pendidikan tinggi di negaranya, dapat dipastikan pembangunan ekonomi negara tersebut akan terhambat."
Perubahan struktur ekonomi-politik kampus kea rah neoliberalisme, telah merubah paradigma pendidikan kapitalisme bukan hanya sekedar sebagai penyedia robot-root untuk industri, menyediakan riset, media transmisi ideologi negara tetapi di jaman sekarang (baca; neoliberalisme) kampus telah menjelma sekaligu tidak ubahnya pasar. Dimana hanya orang-orang yang memiliki kesanggupan daya beli-lah yang bisa mengaksesnya, sedangkan orang-orang miskin cukup melihat-lihat dari luar.
Selain persoalan biaya pendidikan yang semakin mahal (komersialisasi) akibat utama reformasi neoliberalisme di perguruan tinggi adalah kurikulum yang sangat mengabdi kepada pasar tenaga kerja (labour market). Dalam kasus BHMN kampus telah berubah status menjadi reserarh University (dulu di cetuskan di Jerman untuk mendukung pemerintahan NAZI melakukan penemuan baru dalam persenjataan). Yang salah dari konsep ini penemuan teknologi dan IPTEK bukan di peruntukkan untuk kepentingan seluruh umat manusia, tetapi nantinya akan di kuasai oleh korporasi asing dalam bentuk hak cipta dan hak paten. Selain itu pendidikan di universitas akan menjalin kerjasama dengan korporasi-korporasi dengan pola Link and Match atau pola magang di korporasi untuk ketersediaan tenaga professional. Jelas status BHMN tidak menghasilkan kualitas seperti yang dimitoskan, malah status ini menjerat pendidikan sekedar mesin penjaga kestabilan akumulasi modal dalam alam kapitalisme. Hubungan tidak linear antara PT dan sektor ekonomi disebabkan oleh pergeseran paradigma penyelenggaraan PT sebagai akibat langsung industrialisasi modern pasca-Perang Dunia II. Para pakar ekonomi sosial,
seperti Castells (2000), Callinicos (1999), dan Rifkin (2000), mencatat, semangat membangun kembali setelah perang melalui industrialisasi modern menumbuhkan tuntutan pragmatis masyarakat atas peran PT.  Pola pengelolaan modal industri membentuk persepsi masyarakat bahwa investasi ekonomi dalam bidang pendidikan juga harus kembali dalam bentuk profit ekonomi. Akibatnya, tolok ukur masyarakat atas keberhasilan pendidikan adalah kerja yang mengembalikan investasi. 
Imbas lain dari BHMN-isasi ini adalah persoalan tatahubungan kelembagaan dalam Universitas yang tidak demokratis, penyebabnya posisi lembaga mahasiswa tidak sederajat dengan birokrasi kampus. Status Badan Hukum telah merubah wajah kampus menjadi anti-unionisme (serikat mahasiswa), di berbagai kampus yang menjalankan Badan hukum ini sangat anti dengan aktivitas gerakan mahasiswa. Di UI tahun 1990/2000 dilakukan DO/skorsing terhadap mahasiswa kritis, di Universitas hasanuddin hal yang sama juga dilakukan terhadap mahasiswa, di USU, dan berbagai kampus di Indonesia. Penyempitan ruang demokrasi bagi mahasiswa untuk melakukan aktivitas kemahasiswaan(kecuali untuk minat dan bakat/UKM) hampir terjadi dimana-mana. Di IKIP Mataram protes mahasiswa karena keluarnya kebijakan yang tidak melibatkan mahasiswa memakan korban mahasiswa (Ridwansyah, tewas terbunuh oleh preman yang dibayar rektorat). Di berbagai kampus di keluarkan kebijakan pelarangan melakukan aktivitas mimbar bebas, melakukan diskusi, pelarangan mengedarkan selebaran, bahkan pelarangan berorganisasi (terutama organisasi radikal).

LAWAN KAPITALISASI PENDIDIKAN
MARI TERUS, BELAJAR, BERSATU DAN BERJUANG UNTUK INDONESIA MANDIRI BERDAULAT DAN BERKEPRIBADIAN.

Makalah Tamansiswa"KEMERDEKAAN"






TUGAS MATA KULIAH KETAMANSISWAAN
PANCADARMA
 ( KEMERDEKAAN )
PERJUANGAN DALAM RANGKA
MEMPERTAHANKAN KEMERDEKAAN INDONESIA
Di susun oleh


Satino                                    10 004 021

JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SARJANAWIYATA TAMANSISWA
YOGYAKARTA
2011



BAB I
A.Syair
Darah Juang
Cipt. John Tobing
Disini negri kami
Tempat padi terhampar
Samudranya kaya raya
Tanah kami subur tuhan
Di negeri permai ini
Berjuta rakyat bersimbah luka
Anak kurus tak sekolah
Pemuda desa tak kerja
Mereka di rampas haknya
Tergusur dan lapar
Bunda relakan darah juang kami
Tuk membebaskan rakyat
Mereka di rampass haknya
Tergusur dan lapar
Bunda relakan darah juang kami
Padamu kami berjanji
Mereka dirampas haknya
Tergusur dan lapar
Bunda relakan darah juang kami
Padamu kami berjanji (2x)

B. Konsep-konsep Dasar Kemerdekaan
1. Kemerdekaan mengandung arti bahwa sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada manusia yang memberikan kepadanya hak untuk mengatur hidupnya sendiri ( zelfbeschikingsrecht ) dengan selalu mengingat syarat tertib damainya hidup bermasyarakat. Karena itu kemerdekaan diri harus di artikan sebagai swadisiplin atas dasar nilai hidup yang luur , baik hidup sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Kemerdekaan harus menjadi dasar untuk mengembangkan pribadi yang kuatdan sadar dalam suasana keseimbangan dan keselarasandengan kehidupan bermasyarakat.
2. Ki Hadjar Dewantara meletakan dasar kemerdekaan sebagai dasar pendidikan anak-anak kita , atas kesadaranya bahwa mengisi jiwa merdeka pada anak-anak jajahan , berarti mempersenjatai bangsa dengan senjatakeberanian berjuang , menanamkan rasa harga diri pada bangsa yang di jajah untuk mencapai kemerdekaanya
3. Asas kemerdekaan diri menurut paham tamansiswa ialah bahwa kebebasab dan kemerdekaan adalah hak tiap-tiap orang, untuk mencapai hidup salam dan bahagia. Ki.Hadjar mengatakan kemerdekaan seseorang di batasi oleh tertib dan damainya pergaulan hidup.
Adapun azaz tamansiswa
Ø  Setiap orang berhak mengatur dirinya sendiri dengan mengingat tertib persatuan dalam kehidupan umum.
Ø  Pendidikan yang diberikan hendaknya dapat menjadikan manusia yang merdeka.
Ø  Pendidikan hendaknya didasarkan atas keadaan dan budaya Indonesia.
Ø  Pendidikan diberika kepada seluruh rakyat Indonesia tanpa terkecuali.
Ø  Untuk mencapai azas kemerdekaan maka kita harus bekerja sesuai kemampuan diri sendiri.
Ø  Oleh karena itu kita harus bersandar pada kekuatan diri sendiri.
Ø  Pendidikan hendaklah mendidik anak dengan sepenuh hati, tulus , ikhlas dan tanpa mengharapkan imbalan.





BAB II
PEMBAHASAN
A.PERJUANGAN DALAM RANGKA MEMPERTAHANKAN KEMERDEKAAN INDONESIA
1.Latar Belakang Indonesia Belum dikatakan Merdeka
Benarkah Indonesia sudah merdeka meskipun para petinggi bangsa di masa lampau tersebut telah memproklamirkan kemerdekaan Indonesia? Pada kenyataannya, dapat kita lihat bahwa Indonesia tidak dapat dikatakan telah merdeka atau bebas dari penjajahan karena banyaknya masalah-masalah yang sudah berangsur begitu lama dan belum dapat dituntaskan juga oleh bangsa Indonesia.Berikut adalah hal-hal yang melatarbelakangi Indonesia belum dikatakan telah merdeka
Ø Tingginya tingkat kemiskinan yang membelenggu rakyat Indonesia
Indonesia masih terbelenggu oleh tingginya tingkat kemiskinan. Dari sekitar 200 juta jiwa di Indonesia, 17,75% nya adalah penduduk yang tergolong hidup dalam kemiskinan pada tahun 2005-2006*. Penduduk yang berada dalam kemiskinan tersebut tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar mereka dan hal tersebut menyebabkan mereka terbatas pada memikirkan kepentingan diri mereka yaitu mampu bertahan hidup pada hari itu juga. Hal tersebut tidak mendorong mereka untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia karena mereka bahkan belum mampu mempertahankan hidup mereka sendiri. Apalagi bila ditambah dengan kenyataan bahwa negara ini belum mampu memberikan ‘hal’ apapun bagi mereka.
Ø Belum mandiri secara ekonomi beda ulat secara politik, berkepribadian budaya
Di masa sekarang, ketika Republik Indonesia seharusnya berbentuk Negara Kesatuan mayoritas dari kalangan masyarakat hanya mementingkan kepentingan golongan, sulit diajak berunding, dan terkesan tidak peduli dengan apa yang dilakukan oleh golongan lainnya sebatas mereka tidak menganggu mereka. Hal tersebut memperlihatkan bahwa bangsa Indonesia sudah ‘rapuh’ dan ‘terpecah-belah’ serta rasa nasionalisme yang makin memudar tergantikan oleh kepentingan golongan. Jadi, bukankah lebih baik merendahkan diri dengan menyerahkan kedaulatan ke bangsa lain yang mampu mengurus bangsa ini dengan baik, menerima hasil yang baik meskipun bangsa ini kembali menjadi bangsa terjajah, tapi pada akhirnya akan meraih sesuatu yang besar? Dijajah sekali lagi dan dibangun kemudian berkembang, merendahkan terlebih dahulu sebelum pada akhirnya berada di tempat yang lebih tinggi. Hal tersebut cocok dengan cara berpikir praktis dan realistis yang sesuai dengan cara berpikir masyarakat zaman sekarang.
Lagipula, apa bedanya dijajah dengan terlilit jumlah utang yang besar dengan dijajah dengan menyerahkan diri sendiri? Bukankah dengan menyerahkan diri sendiri lebih ‘terhormat’ daripada ‘sok’ berusaha mengatasi keadaan dan melilitkan diri dalam jumlah utang yang besar namun tidak mendapatkan hasil yang sesuai karena ‘dimakan’ oleh ‘penjajah dalam negeri sendiri’? Sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa sesuatu yang bagus bila tidak memiliki manajemen yang bagus adalah percuma, maka mengapa tidak bangsa Indonesia serahkan saja ‘manajemen’ negara Indonesia ini kepada negara lain (atau bekerja sama dengan negara lain dalam hal tersebut) yang mampu menangani masalah ‘manajemen’ negara dengan lebih baik dan sudah berpengalaman lalu mendapatkan hasil yang baik serta pastilah tidak akan lebih buruk daripada keadaan yang ada saat ini?
Ø Rendahnya rasa nasionalisme rakyat Indonesia.
Rasa nasionalisme yang rendah dapat terlihat dalam diri pemuda-pemuda, pelajar-pelajar, penerus bangsa di masa depan. Ditunjukkan dengan sikap-sikap pemuda yang tidak benar-benar menyadari arti pendidikan itu sendiri padahal hal tersebut penting dan termasuk yang disebutkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, serta minimnya pengetahuan mereka tentang bangsa Indonesia sendiri seperti mengenai lagu-lagu kebangsaan, nama-nama pahlawan, tempat-tempat bersejarah dan sejarah bangsa ini sendiri.
Ø Rendahnya tingkat pendidikan
Pendidikan, yang seharusnya menjadi awal perjuangan seorang penerus bangsa mempertahankan kemerdekaan Indonesia, menjadi sesuatu yang sekedar formalitas belaka untuk mencari pekerjaan yang belum tentu di dapat dan hal tersebut mendorong para pelajar untuk melanjutkan pendidikan dan menetap di luar negeri. Kebanggaan bersekolah di luar negeri diperoleh, tapi tidak diperoleh bila bersekolah di dalam negeri, dan hal tersebut tentu saja realistis dengan keadaan dalam negeri yang ‘berantakan’ saat ini. Selain itu “Pendidikan bermutu itu mahal’, kalimat inilah yang sering muncul untuk menjustifikasi biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan.

Ø Tingginya tingkat korupsi yang dilakukan oleh pejabat tinggi Negara
Setelah penjajahan Belanda telah berakhir selama bertahun-tahun, ternyata budaya yang ada pada masa penjajahan Belanda masih belum juga lepas dari tubuh bangsa Indonesia. Kebudayaan untuk melakukan korupsi tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, mulai dari tingkat sekolah yang seharusya menjadi pondasi kedua setelah keluarga dalam mendidik penerus bangsa hingga ke tingkat pemerintahan  yang pejabat-pejabat tinggi di dalamnya seharusnya menjadi teladan bagi anak-anak bangsa serta masyarakat luas di negeri yang dipimpinnya. Mayoritas diantara mereka melakukan praktek korupsi, lebih mementingkan uang daripada kewajibannya dalam membangun Indonesia menjadi negara yang lebih baik lalu mampu mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang seakan ‘menjauh’. Tak heran kalau mereka tidak dipercaya karena rasa nasionalisme mereka yang rendah namun terus menerus berada di jajaran petinggi negara.
Bagaimana perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan mampu terlaksana dengan baik bila kaum terpelajar dan seharusnya dihormati bersikap ‘rendah’ seperti itu karena lebih mementingkan kekayaan masing-masing daripada kesejahteraan rakyatnya yang merupakan salah satu bentuk mempertahankan kemerdekaan? Sayangnya, hal tersebut sudah merasuk, mendarah daging, dan mengakar di dalam bangsa Indonesia serta menjadi suatu budaya yang ‘harus’ dilakukan.
2. Perjuangan Rakyat Indonesia Masa Lampau
Pada masa lampau tersebut, bangsa Indonesia berupaya sebisa mungkin agar lepas dari tangan penjajah. Seperti di Bandung (Peristiwa Bandung Lautan Api), rakyat rela membakar harta bendanya serta kotanya agar Belanda tidak bisa menguasai apa yang seharusnya milik mereka; dan Surabaya (Insiden Bendera), rakyat merobek bagian biru dari bendera Belanda yang dinaikkan oleh orang Belanda dan menaikkannya kembali sebagai bendera Merah Putih. Dalam kedua peristiwa tersebut, dapat terlihat bahwa rasa nasionalisme mereka sangatlah tinggi dan tidak rela bila direndahkan oleh bangsa penjajah. Mereka tidak hanya tunduk begitu saja namun melawan sekuat mereka hingga pada akhirnya Indonesia mampu untuk memerdekakan diri, bahkan hingga masa setelah itu ketika ada bangsa yang berusaha menguasai Indonesia lagi. Indonesia yang pada masa lampau masih menggunakan alat-alat sederhana atau bersifat fisik seperti bambu runcing memiliki suatu visi yang jelas atau konkret sehingga seluruh bangsa Indonesia terarah untuk melawan penjajah dan memerdekakan diri
3. Perjuangan Rakyat Indonesia  Masa Sekarang
Perjuangan masyarakat saat ini adalah untuk mempertahankan sebuah kemerdekaan yang sudah diraih oleh bangsa ini di masa lampau. Ketika hanya dilakukan perlawanan secara fisik yang menumpahkan begitu banyak darah dianggap kurang bermanfaat, pemimpin-pemimpin bangsa melakukan cara yang lain, yaitu dengan cara diplomasi. Sama halnya dengan saat tersebut, saat ini, bangsa Indonesia tidak perlu menumpahkan banyak darah karena di era kini, cara berpikir manusia lebih maju. Namun, masih terlihat bahwa cara diplomasi untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia di dalam negeri sulit untuk dilakukan. Apakah masalah internal tersebut memang tidak dapat dirundingkan lagi atau salah satu/kedua pihak memang tidak memiliki keinginan berunding untuk menyelesaikannya secara damai, padahal mereka seharusnya adalah suatu kesatuan?. Sayangnya, di masa yang perkembangan teknologinya sangat pesat ini, bangsa Indonesia tidak lagi memiliki visi yang jelas.
4.Upaya yang Dilakukan Pemerintah dalam Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia.
       Pemimpin bangsa berusaha mempertahankan kemerdekaan Indonesia melalui pendidikan yaitu wajib belajar 9 tahun, karena mayoritas masyarakat Indonesia tidak berpendidikan.
Di masa sekarang, terlihat bahwa teknologi sudah berkembang dengan sangat baik dan dampaknya terhadap masyarakat (dampak sosiologis) terhadap hal tersebut yaitu batas negara yang dulu dianggap sangat membebani seakan tidak ada lagi (mis. teknologi komunikasi yang memungkinkan manusia di bagian bumi lain berhubungan dengan manusia di bagian lainnya secara cepat dan terasa seperti tidak ada yang membatasi). Dampak tersebut menyebabkan masyarakat terpelajar berpikir tidak ada gunanya lagi berjuang mempertahankan kemerdekaan karena di masa modern ini, masyarakat tidak lagi berpikir mengenai negara mana seseorang berasal namun kualitas apa yang dimilikinya.
5. Upaya yang Di lakukan Oleh Masyarakat
Masyarakat tersebut sudah melakukan perjuangan dalam rangka mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang berupa protes atau kritik terhadap kinerja pemerintah yang sering kali tidak sesuai dengan harapan masyarakat. Namun, perjuangan tersebut mengarah ke sisi negatif karena mereka melakukannya tanpa memikirkan kendala-kendala dalam pemerintahan dan hanya menuntut apa yang sesungguhnya mereka inginkan serta sering kali menuntut tanpa menawarkan solusi yang masuk akal, terlebih lagi perjuangan mereka tersebut sering dilakukan secara anarkis (hingga kaum terpelajar terlihat ‘rendah’ dan layaknya tidak berpendidikan)., perjuangan rakyat dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia, baik kaum miskin maupun terpelajar, sudah memudar. Rakyat tidak mampu lagi mengambil resiko yang besar seperti yang dilakukan masyarakat masa lampau demi negaranya sendiri, yang terasa wajar bila memikirkan bahwa negaranya juga tidak mampu memberikan ‘sesuatu’ untuk mereka; hal tersebut adalah siklus mematikan bila menunggu sesuatu untuk memberi terlebih dahulu baru kemudian bersedi memberi.




.


BAB III
KESIMPULAN
Siapakah yang mampu mengubah keadaan rakyat Indonesia?
Yaitu pemuda-pemuda yang memiliki mental terpelajar yang mampu berfikir secara kritis, mampu melakukan perubahan sehingga perjuangan dalam rangka mempertahankan kemerdekaan Indonesia dapat terealisasikan dengan baik, dan dapat berjalan sesuai UUD 1945 dan PANCASILA.Dan agar perjuangan dalam rangka mempertahankan kemerdekaan Indonesia dapat dilakukan dengan maksimal yaitu bagi para pelajar yang merupakan penerus-penerus bangsa, harus memiliki sikap layaknya seorang terpelajar (mental terpelajar) dan oleh lingkungan sekitar keluarga, sekolah, masyarakat ditanamkan rasa nasionalisme sehingga ketika sudah saatnya nanti, bila diperlukan sebagai penerus bangsa, dapat diandalkan dan tidak tergerus oleh arus yang tidak benar; bagi para pemimpin bangsa, berani menyadari bahwa bangsa ini butuh seseorang yang lebih baik daripada sekedar koruptor dan sesegera mungkin ‘menyingkir’, berani melawan cara yang tidak seharusnya dalam mempertahankan kemerdekaan meskipun ditentang banyak orang.Harapan di masa mendatang yaitu pada pemilihan umum nanti atau suatu saat nanti, akan muncul seorang pemimpin bangsa yang berani melawan segala ‘ketidakbenaran’ dalam tubuh bangsa Indonesia ini, terutama dalam tubuh pemerintahan.






DAFTAR PUSTAKA
  Ki Sutikno.2004.Bahan kuliah Tamansiswa.majelis luhur Persatuan  Tamansiswa;Yogyakarta
  Dewantara,ki.hadjar.2004.Bagian  Pertama Pendidikan. Majelis  Luhurpersatuan Tamansiswa;Yogyakarta
  http://google.com/ perjuangan rakyat dalam mempertahankan kemerdekaan  indonesia.
  http://google.com/pengertian kemerdekaan.


Kodrat Manusia Sebagai Pangkal Tolak


Kodrat sendiri itu adalah dari bahas arab, kata kodrat sebenarnya mencangkup begitu luas. baik kodrat itu mengenai alam semesta ini ataupun kodrat ke manusianya langsung. namun semua itu cangkupan dari poinya juga masih begitu luas. namu kini saya akan membahas sediki tentang kodrat yang terjadi pada manusia.
Manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa memiliki dua naluri pokok :
  1. Untuk mempertahankan jenis, dan
  2. Untuk mengembangkan jenis.
Mempertahankan jenis maksudnya ialah memmpertahankan eksistensi atau menjaga kelangsungan hidup manusia dan juga termasuk usahanya untuk mendapatkan kesejahteraan hidup.
Sedangkan mengembangkan jenis maksudya untuk mengembangkan manusia itu secara kuantitatif.
Aspek mempertahankan jenis adalah aspek individual, karena manusia secara pribadi harus dapat tetap hidup dengan memenuhi segala keperluan hidupnya.  Untuk itu manusia membentuk keluarga dan selanjutnya terjadilah proses pengembangan jenis manusia.
Dari hal di muka dapat diketahui beberapa hal yang sifatnya kodrati pada kehidupan manusia ialah :
a.       Mengusahakan kelangsungan hidupnya
b.      Mengusahakan kesejahteraan hidup
c.       Keharusan saling bekerjasama dan
d.      Keharusan saling membantu.
Kenyataan tersebut menempatkan manusia masing-masing sebagai pribadi, dalam posisi untuk saling ketergantungan dengan sesamanya. Jelaslah bahwa manusia hakekatnya merupakan makhluk sosial secara sekaligus, dalam kedudukanya yang demikian itu, maka manusia melakukan hubungan yang relatif yang sifatnya horizontal dan vertikal.
Hubungan itu meliputi :
  1. Manusia dengan alam ( penyesuaian – kelestarian )
  2. Manusia dengan manusia ( sosial - kemasyarakatan )
  3. manusia dengan tuhan YME (menyembah – pelindung )
Dari proses hubungan manusia dengan alam dan manusia dengan sesamanya terjadilah kebudayaan, dalam usaha manusia untuk meyelesaikan segala ciptaan Tuhan, yang rupanya olehnya sengaja di ciptakan dalam keadaan “belum selesai”. Baik alam maupun manusia keduanya “belum sempurna” sehingga di perlukan proses penyempurnaan oleh manusia. Oleh karena itu kehidupan ini selalu berada dalam evolusi yang terus -  menerus. Proses inilah yang kemudiaan melahirkan kebudayaan, dan manusia mempunyai kedudukan sentral. Manusia adalah pelaku, pencipta dan pengarah serta pemamfaat kebudayaan itu sendiri.
Dengan uraian ini maka jelaslah arti definisi Ki Hajar Dewantara, bahwa kebudayaan adalah buah budi manusia dalam mengatasi alam dan jaman. Memang kebudayaan hakekatnya  merupakan upaya manusia dalam usaha untuk mempertahankan hidup, mengembangkan jenisnya (generasinya) dan meningkatkan taraf kesejahteraan  hidupnya, dalam keterbatasan jasmani serta sumber alam yang mengelilinginya.
Dalam peoses hubungan antar manusia itu diketemukan sumbernya yang merupakan sifat kodrati manusia, ialah : Kemerdekaan, kemanusiaan dan kebangsaan sebagai karunia Tuhan YME.
Dalam hubungannya dengan Tuhan YME dilahirkan sifat pengabdian dan asas kodrat alam yang merupakan menifestasi dari kekuasaanNya.


Kodrat Manusia Sebagai Pangkal Tolak
Manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa memiliki dua naluri pokok :
  1. Untuk mempertahankan jenis, dan
  2. Untuk mengembangkan jenis.
Mempertahankan jenis maksudnya ialah memmpertahankan eksistensi atau menjaga kelangsungan hidup manusia dan juga termasuk usahanya untuk mendapatkan kesejahteraan hidup.
Sedangkan mengembangkan jenis maksudya untuk mengembangkan manusia itu secara kuantitatif.
Aspek mempertahankan jenis adalah aspek individual, karena manusia secara pribadi harus dapat tetap hidup dengan memenuhi segala keperluan hidupnya.  Untuk itu manusia membentuk keluarga dan selanjutnya terjadilah proses pengembangan jenis manusia.
Dari hal di muka dapat diketahui beberapa hal yang sifatnya kodrati pada kehidupan manusia ialah :
a.       Mengusahakan kelangsungan hidupnya
b.      Mengusahakan kesejahteraan hidup
c.       Keharusan saling bekerjasama dan
d.      Keharusan saling membantu.
Kenyataan tersebut menempatkan manusia masing-masing sebagai pribadi, dalam posisi untuk saling ketergantungan dengan sesamanya. Jelaslah bahwa manusia hakekatnya merupakan makhluk sosial secara sekaligus, dalam kedudukanya yang demikian itu, maka manusia melakukan hubungan yang relatif yang sifatnya horizontal dan vertikal.
Hubungan itu meliputi :
  1. Manusia dengan alam ( penyesuaian – kelestarian )
  2. Manusia dengan manusia ( sosial - kemasyarakatan )
  3. manusia dengan tuhan YME (menyembah – pelindung )
Dari proses hubungan manusia dengan alam dan manusia dengan sesamanya terjadilah kebudayaan, dalam usaha manusia untuk meyelesaikan segala ciptaan Tuhan, yang rupanya olehnya sengaja di ciptakan dalam keadaan “belum selesai”. Baik alam maupun manusia keduanya “belum sempurna” sehingga di perlukan proses penyempurnaan oleh manusia. Oleh karena itu kehidupan ini selalu berada dalam evolusi yang terus -  menerus. Proses inilah yang kemudiaan melahirkan kebudayaan, dan manusia mempunyai kedudukan sentral. Manusia adalah pelaku, pencipta dan pengarah serta pemamfaat kebudayaan itu sendiri.
Dengan uraian ini maka jelaslah arti definisi Ki Hajar Dewantara, bahwa kebudayaan adalah buah budi manusia dalam mengatasi alam dan jaman. Memang kebudayaan hakekatnya  merupakan upaya manusia dalam usaha untuk mempertahankan hidup, mengembangkan jenisnya (generasinya) dan meningkatkan taraf kesejahteraan  hidupnya, dalam keterbatasan jasmani serta sumber alam yang mengelilinginya.
Dalam peoses hubungan antar manusia itu diketemukan sumbernya yang merupakan sifat kodrati manusia, ialah : Kemerdekaan, kemanusiaan dan kebangsaan sebagai karunia Tuhan YME.
Dalam hubungannya dengan Tuhan YME dilahirkan sifat pengabdian dan asas kodrat alam yang merupakan menifestasi dari kekuasaanNya.